BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antropologi Agama adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama
dengan pendekatan budaya, atau disebut juga Antropologi Religi. Meskipun ada
yang berpendapat ada perbadaan pengerian antara Antropologi Agama dengan
Antropologi Religi, namun keduanya mengandung arti adanya hubungan antara
manusia dengan kekuasaan yang ghaib. Keduanya juga menyangkut adanya buah
pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan yang
tidak nyata.
Buah pikiran dan perilaku manusia
tentang keagamaan dan kepercayaannya itu pada kenyataannya dapat dilihat dalam
wujud tingkah laku dalam acara dan upacara-upacara tertentu menurut tata cara
yang ditentukan dalam agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan demikian
Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam teologi (Ilmu Ketuhanan),
yaitu ilmu yang menyelidiki Wahyu Tuhan.
Dengan demikian
memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap
tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas
kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna
hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan
agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam,
sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah
dipraktikkan, Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan
manusia.
Kepentingan untuk
melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana
posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial
masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah
"fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory",
mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local
knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam peraturan dunia global.
Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan
budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain.
Jika kembali pada
persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya
dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna
untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus
diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama.
Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia
dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat
memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada
kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang
harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia
maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian,
maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci
sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga
worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter
dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun
estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus
bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping
itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh
manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk
karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran
realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas
bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik
Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu
kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan
memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya.
RUMUSAN MASALAH
1.Apa pengertian
antropologi dan sosiologinagama ?
2 Apa
pendekatan-pendakatan dalam memahi antropologi ?
3 apa saja metode
metode dalam antropologi agama ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir
atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri
fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi berasal dari kata anthropos
yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi
mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
1. Definisi Antropologi dan
Sosial Menurut Pandangan Islam
a. Pendekatan Sosiologi
Sosiologi dalam pengertian secara luas adalah ilmu
yang mempelajari tentang masyarakat dan gejala sosial yang terjadi di
masyarakat.Sosiologi sebagai anak kandung modernitas lahir dalam rangka
memahami kehidupan sosial dan bagaimana orang bertindak di dalamnya.
Pendekatan sosiologi dapat dijadikan sebagai salah
satu alat dalam memahami ajaran agama karena banyak dari kajian agama yang
hanya dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan
pendekatan sosiologi. Dalam buku “Islam Alternatif” karangan Jalaluddin Rahmat,
dikemukakan bahwa Islam begitu memperhatikan masalah sosial, yang dibuktikan
dalam hal-hal berikut:
1. Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam, antara ayat-ayat yang berkaitan dengan
ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah 1 : 100 (satu
berbanding seratus).
2.
Ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam adalah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah waktunya bersamaan dengan urusan muamalah, maka
muamalah lebih dipentingkan. Akan tetapi bukan berarti ibadah ditinggalkan.
3.
Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan ganjarannya lebih besar dari pada
ibadah yang bersifat perorangan. Contohnya saja sholat berjama’ah yang lebih
banyak ganjarannya 27 derajat.
4. Dalam Islam bila
dalam urusan ibadah itu dilanggar atau tidak sempurna maka dendanya/takzirnya
adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Salah satu
contoh ialah apabila tidak kuat puasa maka menggantinya dengan memberi makan
beberapa fakir miskin.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan
sosiologi merupakan alat yang cukup efisien dalam memahami dan mempelajari
studi Islam. Adapun yang perlu diperhatikan dalam mempelajari studi Islam
melalui pendekatan sosiologi, terletak pada fungsinya di dalam masyarakat. Dilihat dari fungsinya dalam kehidupan manusia, agama
dituntut untuk dapat merumuskan kembali (rekonstruksi) pemikiran-pemikirannya
secara jelas dan sistematis agar dapat memanusiakan manusia agar lebih terarah.
Secara
kuantitas setiap pemeluk agama Islam dituntut untuk mempunyai kesadaran sendiri
dalam menentukan atau memilih agama yang dianutnya, yaitu dengan cara terlebih
dahulu melakukan analisa dan kajian terhadap agama yang menjadi pilihannya.
Tetapi kenyataan itu hanya dilakukan oleh kaum intelektual saja sedangkan kaum
awam hanya sebagian kecil yang mempunyai kesangupan tersebut. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa agama Islam mempunyai kualitas yang bagus tetapi penganutnya
kurang atau bahkan tidak mempunyai kualitas. Cukup mengenaskan bukan?
Oleh karena itu studi Islam dalam
endekatan sosiologi dipandang sangat penting untuk tercapainya pemahaman secara
luas dan menyeluruh (kafah) terhadap studi Islam. Hal ini dilakukan
khususnya agar masyarakat awam juga dapat menerapkan studi Islam dengan
berkualitas.
b. Pendekatan
Antropologi
Antropologi secara sederhana dapat diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri
adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia.
Pendekatan antropologi dalam memahami studi Islam
dapat dilihat dengan wujud praktik/ritual keagamaan yang tumbuh dan berkembang
di masyarakat. Pendekatan antropologi dalam studi Islam maksudnya adalah
pendekatan secara wajar yang digunakan dalam melakukan penelitian pendekatan
budaya yang tidak menyalahi norma-norma yang berlaku dalam agama Islam. Islam
tidak akan menerima begitu saja jenis pendekatan-pendekatan antropologi dalam
memahami dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, karena Islam bersifat
selektif.
Antropologi sebagai pendekatan dalam
mempelajari studi Islam dapat diklarifikasikan menjadi beberapa bagian
diantaranya:
1.
Pendekatan antropologis fenomenologis; pendekatan ini dapat melihat hubungan
antara agama dan negara.
2.
Pendekatan antropologis yang kaitannya antara agama dengan psikoterapi.
3. Pendekatan
antropologis yang kaitannya antara agama dengan mekanisme pengorganisasian.
Dalam pengklarifikasian di atas, jelas bahwa agama
sangat erat kaitannya dengan cabang-cabang ilmu antropologi, sehingga dalam hal
ini agama dapat melakukan hubungan secara fungsional dengan berbagai fenomena
kehidupan manusia.
Melalui pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa
doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak pernah berdiri
sendiri, antropologi berupaya untuk dapat melihat hubungan antara agama dengan
berbagai fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.
Adapun metode yang digunakan melalui
pendekatan antropologi adalah metode holistik, artinya dalam melihat suatu
fenomena sosial harus diteliti dalam konteks totalitas kebudayaan masyarakat
yang dikaji. Sedangkan teknik pengumpulan datanya menggunakan metode observasi
dan wawancara mendalam (terjun langsung ke dalam masyarakat).
A. Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama:
Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak
awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena
meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya
terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama
abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang
pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema
kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan
sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu
sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan
para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa
kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi
mereka. Tidak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat
menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan
mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana,
pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama,
dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena
ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu
untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama
adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci
Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir
sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Sesungguhnya harus
disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir
manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk
menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia,
jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan
mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti
oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih
adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama
sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di
dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks,
keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian
tentang agama. Kajian-kajian
tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan
dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam
perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu
menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini
seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan
betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga
ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan
kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian
agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern
menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan,
yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam
antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis;
intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian
agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang
intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu
masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk
mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural.
Walaupun definisi
agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan
generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya
kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut
perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade
perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu
bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang
dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme.
Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller
berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi
agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori,
strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile
Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the
Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku
itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang
diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured
dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim
menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi
antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan
pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam
agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang
sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan
intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat
dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial.
Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah
"struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral."
Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural
dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid
Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk
mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss
agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi
individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh
Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam
ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi
dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di
Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam
keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong
para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang
tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat
dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari
perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi
agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap
permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common
sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.
Dalam setiap kali menyelesaikan
persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan
penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di
daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan,
maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku
Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun
ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang
tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka
menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka
melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan
spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan
pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun
tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim
mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk
mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan
pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di
masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang
dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual
bagi masyarakat
Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik
keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama
cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah
ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting.
Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di
antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat
seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang
perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai
sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai
medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat
ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai
simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga
tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi
Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari
pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis
dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara
doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan
politik. Oleh karena itu
Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas
keberadaan agama.
Dalam kajian
tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan
perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan
hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja
keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan
yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte
ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang
dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di
Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion
yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga
kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali
memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini
tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat
sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata
dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang
dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan
suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan
terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di
sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas
sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal
yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi
perhatian kajian sosial.
Jika agama
diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan
manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan
sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini
berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa
memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial
budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari
realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang
manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya
mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika
membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan
"orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk
menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep
"muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan
kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan
Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu
termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep
agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian
realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan
ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari
Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa
realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka
diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal
Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam
kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas
universal agama-great tradition.
B.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan
pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz,
"Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik
tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama
mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori
fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian
agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang
mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang
menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan
bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter
masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru,
tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols
which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations
of a general order of existence and clothing these conceptions with such an
aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely
realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat
dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari
Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam
tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle)
untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai
keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan
konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda;
pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia
merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama
sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order
tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan
sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk
meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam
The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita
bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java
memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga
bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik
maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat
perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan
agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi
dengan budaya lokal.
C. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan Antropologi
Antropologi adalah suatu
ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih komprehensif. Antropologi pertama kali
dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam rangka penyebaran agama Nasrani dan
bersamaan dengan itu pula berlangsung sistem penjajahan terhadap negar-negara
diluar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan sebagai suatu hal
untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk
kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang masuk dalam
kategori Negara ketiga (Negara berkembang) sangat urgen sebagai “pisau
analisis” untuk pengambilan kebijakan (policy) dalam rangka
pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu
yang cakupan studinya cukup luas, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang
mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna dan global. Sehingga,
antropologi terfregmentasi menjadi beberapa bagian yang masing-masing ahli
antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi bidangnya masing-masing.
Pada dataran ini, antropologi menjadi amat plural, sesuai dengan perkembangan
ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih memahami
sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih komprehensif. Dan hubungan dengan ini pula,
ada bermacam-macam antropologi seperti antropologi ekonomi, antropologi
politik, antropologi kebudayaan, antropologi agama, antropologi pendidikan,
antropologi perkotaan, dan lain sebagainya. Grace de Raguna, seorang filsuf
wanita pada tahun 1941, menyampaikna pidatonya dihadapan American Philosophical
Association Eastern Division, bahwa antropologi telah memberi lebih banyak
kejelasan tentang sifat manusia daripada semua pemikiran filsuf atau studi para
ilmuwan di laboratoriumnya.
Dan
dalam studi kependidikan yang dikaji melalui pendekatan antropologi, maka
kajian tersebut masuk dalam sub antropologi yang bias dikenal menjadi
antropologi pendidikan. Artinya apabila antropologi pendidikan dimunculkan
sebagai suatu materi kajian, maka yang objek dikajiannya adalah penggunaan
teori-teori dan metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan
yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau
masyarakat. Dengan demikian, kajian materi antropologi pendidikan, bukan
bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu
pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi. Meskipun
berkemungkinan ada yang menjadi antropolog pendidikan setelah memperoleh
wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan.
Pertanyaannya
kemudian adalah bagaimana kedudukan antropologi pendidikan sebagai sebuah
disiplin studi yang tergolong baru di tambah kata “Islam” sehingga menjadi
“antropologi pendidikan Islam”. Hal ini telah menjadi sorotan para ahli
pendidikan Islam, bahwa hal tersebut merupakan suatu langkah yang ada
relevansinya dengan isu-isu Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan pola itu, maka
antropologi pendidikan Islam tentunya harus dikategorikan “sama” dengan ekonomi
Islam. Artinya bagaimana bagunan keilmuan yang ditonjolkan dalam ekonomi Islam
muncul juga dalam dalam antropologi pendidikan Islam, sehingga muncul pula
kaidah-kaidah keilmiahannya yang bersumber dari kitab suci Al Qur’an dan dari
As Sunah. Seperti dalam ekonomi Islam (juga Hukum Islam) yang sejak awal
pertumbuhannya telah diberi contoh oleh Nabi Muhammad dan diteruskan oleh para
sahabat. Maka antropologi pendidikan Islam, kaidah-kaidah keilmiahannya harus
juga bersumber atau didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunah. Akan tetapi dalam
sejarah kebudayaan Islam belum ada pengakuan terhadap tokoh-tokoh atau pelopor
antropologi yang diakui dari zaman Nabi Muhammad atau sesudahnya.
Karakteristik
dari antropologi pendidikan Islam adalah terletak pada sasaran kajiannya yang
tertuju pada fenomena pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan
Agama Islam (PAI). Pendidikan Agama Islam arahnya dari atas ke bawah, artinya
sesuatu yang dilakukan berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan
pandangan hidup anak didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam
dari bawah ke atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam mendidik anak, agar
anak dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi
kemampuannya untuk menghadapi lingkungan. Masalah ilmiah yang mendasar pada
Pendidikan Agama Islam adalah berpusat pada bagaimana (metode) cara yang
seharusnya dilakukan. Sedangkan masalah yang mendasar pada antropologi
pendidikan Islam adalah berpusat pada pengalaman apa yang ditemui.
Ibnu
Sina, yang kita kenal sebagai tokoh kedokteran dalam dunia Islam ternyata juga
merupakan sorang pemerhati pendidikan anak usia dini yang merupakan pengalaman
pertama anak. Dalam kitabnya al-Siyasah, Ibnu Sina banyak memaparkan
tentang pentingnya pendidikan usia dini yang dimulai dengan pemberian “nama
yang baik” dan diteruskan dengan membiasakan berperilaku, berucap-kata, dan
berpenampilan yang baik serta pujian dan hukuman dalam mendidikan anak. Dan
juga yang paling urgen adalah penanaman nilai-nilai sosial pada anak seperti
rasa belas kasihan (confession) dan empati terhadap orang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya
dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari
konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal
dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan
agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana
manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa
sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia
yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti
digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh
Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui
tentang Tuhan.
Dengan demikian
pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh
dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa
realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di
sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu
yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris
agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas
Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Ahmad, Akbar S, Kearah Antropologi
Islam, Jakarta: Media Da’wah
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002.
Hoselitz, Bets F, Panduan
Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi Dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. 2004.
Koentjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980
M. Munandar Sulaeman,
Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993
Noto Abuddin,, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Sulaeman, Munandar, Ilmu
Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993