Jumat, 21 Desember 2012

Makalah MSI "Antropologi Islam"


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Antropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga Antropologi Religi. Meskipun ada yang berpendapat ada perbadaan pengerian antara Antropologi Agama dengan Antropologi Religi, namun keduanya mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib. Keduanya juga menyangkut adanya buah pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan yang tidak nyata.
Buah pikiran dan perilaku manusia tentang keagamaan dan kepercayaannya itu pada kenyataannya dapat dilihat dalam wujud tingkah laku dalam acara dan upacara-upacara tertentu menurut tata cara yang ditentukan dalam agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan demikian Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam teologi (Ilmu Ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki Wahyu Tuhan.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam peraturan dunia global. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya.
RUMUSAN MASALAH  
1.Apa pengertian antropologi dan sosiologinagama ?
2 Apa pendekatan-pendakatan dalam memahi antropologi ?
3 apa saja metode metode dalam antropologi agama ?

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
1.      Definisi Antropologi dan Sosial Menurut Pandangan Islam
a.      Pendekatan Sosiologi
Sosiologi dalam pengertian secara luas adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan gejala sosial yang terjadi di masyarakat.Sosiologi sebagai anak kandung modernitas lahir dalam rangka memahami kehidupan sosial dan bagaimana orang bertindak di dalamnya.
Pendekatan sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama karena banyak dari kajian agama yang hanya dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan pendekatan sosiologi. Dalam buku “Islam Alternatif” karangan Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa Islam begitu memperhatikan masalah sosial, yang dibuktikan dalam hal-hal berikut:
1.      Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam, antara ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah 1 : 100 (satu berbanding seratus).
2.      Ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam adalah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah waktunya bersamaan dengan urusan muamalah, maka muamalah lebih dipentingkan. Akan tetapi bukan berarti ibadah ditinggalkan.
3.      Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan ganjarannya lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perorangan. Contohnya saja sholat berjama’ah yang lebih banyak ganjarannya 27 derajat.
4.      Dalam Islam bila dalam urusan ibadah itu dilanggar atau tidak sempurna maka dendanya/takzirnya adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Salah satu contoh ialah apabila tidak kuat puasa maka menggantinya dengan memberi makan beberapa fakir miskin.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan sosiologi merupakan alat yang cukup efisien dalam memahami dan mempelajari studi Islam. Adapun yang perlu diperhatikan dalam mempelajari studi Islam melalui pendekatan sosiologi, terletak pada fungsinya di dalam masyarakat. Dilihat dari fungsinya dalam kehidupan manusia, agama dituntut untuk dapat merumuskan kembali (rekonstruksi) pemikiran-pemikirannya secara jelas dan sistematis agar dapat memanusiakan manusia agar lebih terarah.
Secara kuantitas setiap pemeluk agama Islam dituntut untuk mempunyai kesadaran sendiri dalam menentukan atau memilih agama yang dianutnya, yaitu dengan cara terlebih dahulu melakukan analisa dan kajian terhadap agama yang menjadi pilihannya. Tetapi kenyataan itu hanya dilakukan oleh kaum intelektual saja sedangkan kaum awam hanya sebagian kecil yang mempunyai kesangupan tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa agama Islam mempunyai kualitas yang bagus tetapi penganutnya kurang atau bahkan tidak mempunyai kualitas. Cukup mengenaskan bukan?
Oleh karena itu studi Islam dalam endekatan sosiologi dipandang sangat penting untuk tercapainya pemahaman secara luas dan menyeluruh (kafah) terhadap studi Islam. Hal ini dilakukan khususnya agar masyarakat awam juga dapat menerapkan studi Islam dengan berkualitas.

b.          Pendekatan Antropologi
Antropologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia.
Pendekatan antropologi dalam memahami studi Islam dapat dilihat dengan wujud praktik/ritual keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Pendekatan antropologi dalam studi Islam maksudnya adalah pendekatan secara wajar yang digunakan dalam melakukan penelitian pendekatan budaya yang tidak menyalahi norma-norma yang berlaku dalam agama Islam. Islam tidak akan menerima begitu saja jenis pendekatan-pendekatan antropologi dalam memahami dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, karena Islam bersifat selektif.
Antropologi sebagai pendekatan dalam mempelajari studi Islam dapat diklarifikasikan menjadi beberapa bagian diantaranya:
1.      Pendekatan antropologis fenomenologis; pendekatan ini dapat melihat hubungan antara agama dan negara.
2.      Pendekatan antropologis yang kaitannya antara agama dengan psikoterapi.
3.      Pendekatan antropologis yang kaitannya antara agama dengan mekanisme pengorganisasian.
Dalam pengklarifikasian di atas, jelas bahwa agama sangat erat kaitannya dengan cabang-cabang ilmu antropologi, sehingga dalam hal ini agama dapat melakukan hubungan secara fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Melalui pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak pernah berdiri sendiri, antropologi berupaya untuk dapat melihat hubungan antara agama dengan berbagai fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.
Adapun metode yang digunakan melalui pendekatan antropologi adalah metode holistik, artinya dalam melihat suatu fenomena sosial harus diteliti dalam konteks totalitas kebudayaan masyarakat yang dikaji. Sedangkan teknik pengumpulan datanya menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam (terjun langsung ke dalam masyarakat).

A.    Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tidak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural.
Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.
Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat
Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama.
Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.

B.     Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.


C.    Pendidikan Islam Dalam Pendekatan Antropologi
Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih komprehensif. Antropologi pertama kali dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam rangka penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu pula berlangsung sistem penjajahan terhadap negar-negara diluar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan sebagai suatu hal untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang masuk dalam kategori Negara ketiga (Negara berkembang) sangat urgen sebagai “pisau analisis” untuk pengambilan kebijakan (policy) dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang cakupan studinya cukup luas, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna dan global. Sehingga, antropologi terfregmentasi menjadi beberapa bagian yang masing-masing ahli antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi bidangnya masing-masing. Pada dataran ini, antropologi menjadi amat plural, sesuai dengan perkembangan ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih memahami sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih komprehensif. Dan hubungan dengan ini pula, ada bermacam-macam antropologi seperti antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi kebudayaan, antropologi agama, antropologi pendidikan, antropologi perkotaan, dan lain sebagainya. Grace de Raguna, seorang filsuf wanita pada tahun 1941, menyampaikna pidatonya dihadapan American Philosophical Association Eastern Division, bahwa antropologi telah memberi lebih banyak kejelasan tentang sifat manusia daripada semua pemikiran filsuf atau studi para ilmuwan di laboratoriumnya.
Dan dalam studi kependidikan yang dikaji melalui pendekatan antropologi, maka kajian tersebut masuk dalam sub antropologi yang bias dikenal menjadi antropologi pendidikan. Artinya apabila antropologi pendidikan dimunculkan sebagai suatu materi kajian, maka yang objek dikajiannya adalah penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, kajian materi antropologi pendidikan, bukan bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi. Meskipun berkemungkinan ada yang menjadi antropolog pendidikan setelah memperoleh wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kedudukan antropologi pendidikan sebagai sebuah disiplin studi yang tergolong baru di tambah kata “Islam” sehingga menjadi “antropologi pendidikan Islam”. Hal ini telah menjadi sorotan para ahli pendidikan Islam, bahwa hal tersebut merupakan suatu langkah yang ada relevansinya dengan isu-isu Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan pola itu, maka antropologi pendidikan Islam tentunya harus dikategorikan “sama” dengan ekonomi Islam. Artinya bagaimana bagunan keilmuan yang ditonjolkan dalam ekonomi Islam muncul juga dalam dalam antropologi pendidikan Islam, sehingga muncul pula kaidah-kaidah keilmiahannya yang bersumber dari kitab suci Al Qur’an dan dari As Sunah. Seperti dalam ekonomi Islam (juga Hukum Islam) yang sejak awal pertumbuhannya telah diberi contoh oleh Nabi Muhammad dan diteruskan oleh para sahabat. Maka antropologi pendidikan Islam, kaidah-kaidah keilmiahannya harus juga bersumber atau didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunah. Akan tetapi dalam sejarah kebudayaan Islam belum ada pengakuan terhadap tokoh-tokoh atau pelopor antropologi yang diakui dari zaman Nabi Muhammad atau sesudahnya.
Karakteristik dari antropologi pendidikan Islam adalah terletak pada sasaran kajiannya yang tertuju pada fenomena pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan Agama Islam arahnya dari atas ke bawah, artinya sesuatu yang dilakukan berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah ke atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam mendidik anak, agar anak dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi kemampuannya untuk menghadapi lingkungan. Masalah ilmiah yang mendasar pada Pendidikan Agama Islam adalah berpusat pada bagaimana (metode) cara yang seharusnya dilakukan. Sedangkan masalah yang mendasar pada antropologi pendidikan Islam adalah berpusat pada pengalaman apa yang ditemui.
Ibnu Sina, yang kita kenal sebagai tokoh kedokteran dalam dunia Islam ternyata juga merupakan sorang pemerhati pendidikan anak usia dini yang merupakan pengalaman pertama anak. Dalam kitabnya al-Siyasah, Ibnu Sina banyak memaparkan tentang pentingnya pendidikan usia dini yang dimulai dengan pemberian “nama yang baik” dan diteruskan dengan membiasakan berperilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang baik serta pujian dan hukuman dalam mendidikan anak. Dan juga yang paling urgen adalah penanaman nilai-nilai sosial pada anak seperti rasa belas kasihan (confession) dan empati terhadap orang lain.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan.
Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Ahmad, Akbar S, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002.
Hoselitz, Bets F, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993
Noto Abuddin,, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Sulaeman, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993